Sangat dimungkinkan untuk menciptakan sarana-sarana baru untuk memotivasi anak dalam menghafal quran. Berikut ini sebagai contoh dari hal itu:
Pada suatu hari, di saat pertemuan saya dengan salah satu kerabat, saya menyaksikan seorang ayah sedang mengajari anak perempuannya yang berusia 3 tahun beberapa ayat Al qur'an. Saking semangatnya sang ayah agar anak perempuannya tersebut mau menghafal satu surat yang ia kehendaki dalah waktu yang dikehendaki ayahnya, ayah tersebut memukulnya dengan keras.
Kejadian itu berawal ketika anaknya berucap, “Aku tidak mau.” Maka sang ayah, dikarenakan semangatnya agar anaknya tersebut mau menghafal quran, dia memukulnya dengan pukulan yang keras. Sedangkan anaknya selalu membandel dan semakin tambah membandelnya, serta menangis. Sang ayah pun terus-menerus memukulnya dengan sia-sia. Kejadian itu pun berakhir dengan sia-sia, karena sang anak benar-benar tidak mau menghafal. Akhirnya sang ayah meninggalkan anak tanpa mendapat hasil apa-apa, selain mengendapkan beberapa sikap negatif yang ada pada diri anak terhadap sang ayah dan terhadap Al Quran.
Namun, apa solusinya? Apakah kita meninggalkan anak tanpa mau menghafal sekalipun kualitas kecerdasannya baik? Pasti tidak. Tapi, bagi seorang murabbi, hendaknya ia berusaha menciptakan cara-cara yang baru dan sarana-sarana yang sesuai dalam memotivasi anak untuk menghafal atau mencintainya.
Untuk itu, saya melakukan beberapa pendekatan terhadap anak tersebut. Pertama-tama, saya memberikan tentang urgensi Al Quran bagi kita dan bagaimana kita bisa mencintai apa yang kita hafalkan. Juga, apa manfaat secara materi atau maknawi yang akan didapat oleh orang yang menghafal Al Quran.
Sehari kemudian, saya bermain-main bersama anak tersebut, karena saya dapati ia senang bermain dengan menghitung jari-jemari tangannya. Saya mulai menghitung jari jemari kedua tangan saya bersamanya. Kemudian saya ubah ucapan dengan mengulang-ngulang huruf-huruf hijaiyah pada jari-jemari tangannya.
Ketika anak tersebut mulai menikmati permainan ini, saya mengulangi ayat-ayat yang telah dia tolak untuk menghafalnya ketika ia bersama ayahnya dahulu, namun menggunakan isyarat untuk per ayatnya dengan satu jari-jemari tangan.
Lalu anak tersebut mulai mengulang ayat-ayat dan mulai menikmati cara seperti ini. Saat hendak mengucapkan sebagian ayat Al Quran, ia senang menunjuk jari-jemari orang yang ada di depannya.
Demikianlah, saya mengubah praktik hafalan anak terhadap Al Quran menjadi suasana yang menyenangkan.
Jadi, sangat mungkin untuk memakai sarana seperti ini atau sarana inovatif lainnya, hingga anak pada fase ini dapat merasakan bahwa Al Qur'an
adalah sumber kebahagiaan dan kegembiraan, bukan sumber pemukulan dan penderitaan.
***
Dikutip dari buku Mendidik Anak Cinta Al Qur'an
Karya DR. Sa’ad Riyadh
Penerbit Insan Kamil
(bukunya bagus, saya suka)
Ketika membaca ini, saya pun teringat sebuah kisah ketika saya mengajar tk.
Waktu itu tk baru dibuka, dan hanya ada saya yang mengajar. Sebelum kbm, ada program semacam “pesantern kilat” untuk anak-anak usia tk. Suatu hari hanya ada saya dan Hasan, santri kecil.
Kami bermain. Saya membuka lima jari saya, Hasan melipat satu jari saya. Ketika Hasan hendak melipat, saya pun menggodanya dengan menggeser tangan saya sehingga sulit untuk menangkap jari yang mau dilipat atau kadang2 ketika dia hendak melipat, saya menahannya kencang-kencang sehingga sulit baginya untuk melipat jari saya. Diapun menikmati permainan ini.
Saya ajarkan sepenggal hafalan, sekali mengulang Hasan mendapat “hadiah” untuk melipat jari saya. Pada awalnya, berapa kali Hasan mengulang penggalan hafalan bersama saya, kemudian berapa kali dia mengulangnya sendiri (tanpa saya). Setelah beberapa kali mengulang, saya tambahkan penggalan hafalan berikutnya. Dia mengulang terus sambil mendapatkan “hadiah” melipat jari saya.
Hasan pun asik “bermain” dan tanpa dia sadari dia sudah hafal beberapa ayat. Saya lupa persisnya saat itu sedang menghafalkan apa tapi saya ingat kejadian itu. Sebaliknya Hasan,
mungkin dia lupa dengan kejadian itu, tapi saya yakin dia masih mengingat ayat yang kami hafalkan waktu itu. Terakhir mendengar kabarnya, dia sudah menghafalkan 13 juz Al Quran. Sebuah motifvasi bagi saya, untuk mengajarkan Al Quran pada
anak-anak saya sendiri. Semoga Allah menjadikan anak-anak saya, Hasan dan anak-anak kaum muslimin anak shalih yang tumbuh dalam ketaatan.. yang berhak mendapatkan naungan dari Allah pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya.
Seorang ibu memang harus kreatif, karena dia adalah seorang PENDIDIK. Seorang pendidik harus mempunyai seribu satu cara untuk mengajarkan pada anak-anak mereka (dalam pembahasan ini, mengajarkan al Quran). Cara satu kurang berhasil, coba cara dua. Begitu seterusnya…. memutar otak mencari cara dengan bergantung hatinya kepada Allah.
Tidak ada alasan untuk mengatakan “Tapi…saya bukan orang yang punya bakat kreatif.” Kreatif bukan hanya masalah bakat. Anda bisa melakukan banyak hal untuk menambah wawasan. Anda bisa membaca buku, Anda bisa mencari komunitas ibu-ibu untuk berbagi pengalaman, Anda bisa berbagi dengan ustadzah-ustadzah nya anak-anak, dan masih banyak yang lain.
Seperti sifat manusia. Sabar itu bisa jadi memang sudah bawaan sifatnya sabar, tapi bisa juga diperoleh dengan berpayah-payah berusaha sabar sehingga akhirnya sabar itu melekat dan menjadi sifatnya..
–uus–
Sumber Toko Muslim.com